Thursday, March 06, 2014

Menulis adalah Bekerja Untuk Sejarah


Picture by me
Sejarah mencatat, peradaban Islam pernah melahirkan para intelektual terkemuka di dunia. Mereka ahli di bidangnya sekaligus patuh dan tunduk kepada Allah SWT. Keahlian mereka begitu dihargai oleh negara. Bagi mereka yang mampu menulis kitab, imbalannya adalah emas seberat buku yang ia tulis. Pada masa khilafah Abbasiyah yang berdiri sekitar tahun 800-an Masehi, kemajuan ilmu pengetahuan berada pada puncaknya. Para ilmuan seperti Al Khawarizmi, Ibnu al Haitsam dan ilmuan lainnya mewariskan ilmu mereka pada orang-orang dimasa depan melalui buku. Wajar jika koleksi buku yang disediakan di perpustakaan universitas dalam daulah  terbilang lengkap. Penghargaan yang begitu besar pada kemajuan ilmu pengetahuan, mendorong warga negara Khilafah berlomba-lomba menghasilkan karya intelektual mereka. Sehingga sejarahpun mengenal mereka.
Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi kaum muslim saat ini. Minat baca dan minat menulis sangat rendah pada diri kaum muslimin. Di kampus-kampus yang notabene adalah tempat mencetak para intelektual, kondisinya sama, minat baca dan tulis yang sangat rendah. Hampir-hampir majalah dinding yang tersedia tak pernah dibaca. Hampir-hampir setiap kali bertanya kepada teman-teman mahasiswa mengenai informasi di mading, tak ada yang mengetahuinya. Sampai-sampai, kami para aktivis kampus berusaha sekreatif mungkin menghasilkan pengumuman acara, dengan warna mencolok dan tulisan besar serta singkat. Sebab kalau kebanyakan pra kata, ya nggak dibaca. Hasilnya, koleksi buku-buku yang tersedia di perpustakaan umum jumlahnya minim saat ini.
Memang belakangan kembali muncul gerakan minta baca dan tulis. Ditandai dengan bermunculannya para penulis baru yang menghasilkan buku maupun tulisan di dunia maya. Ya termasuk saya ini. Tapi, tetap saja jumlahnya lebih sedikit dibanding yang ogah nulis.
Apresiasi dan peningkatan taraf berfikir, itulah yang dilakukan di masa Islam. Sehingga masyarakat cinta belajar. Meski alat tulis tak secanggih sekarang, namun ulama Imam Syafi’i mampu menulis buku dengan ketebalan luar biasa. Maka kita harus bangkit.
Kebangkitan yang dimulai dari taraf berfikir, yaitu memahami bahwa tujuan hidup kita adalah berbakti sepenuhnya pada Allah Swt dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai jalan meraih ridhaNya. Tak lupa pula untuk terus berjuang dalam mengembalikan realitas kehidupan Islam ditengah-tengah kita. Menulislah, karena menulis berarti bekerja untuk sejarah. Sekali lagi, bukan sekedar karena ingin dikenal. Melainkan karena Islam layak tersebar sebagai rujukan bagi manusia di seluruh alam. Wa ma taufiqi illa billah.

0 Comments

Post a Comment