Picture by me |
Sejarah mencatat,
peradaban Islam pernah melahirkan para intelektual terkemuka di dunia. Mereka
ahli di bidangnya sekaligus patuh dan tunduk kepada Allah SWT. Keahlian mereka
begitu dihargai oleh negara. Bagi mereka yang mampu menulis kitab, imbalannya adalah
emas seberat buku yang ia tulis. Pada masa khilafah Abbasiyah yang berdiri
sekitar tahun 800-an Masehi, kemajuan ilmu pengetahuan berada pada puncaknya.
Para ilmuan seperti Al Khawarizmi, Ibnu al Haitsam dan ilmuan lainnya
mewariskan ilmu mereka pada orang-orang dimasa depan melalui buku. Wajar jika
koleksi buku yang disediakan di perpustakaan universitas dalam daulah
terbilang lengkap. Penghargaan yang begitu besar pada kemajuan ilmu
pengetahuan, mendorong warga negara Khilafah berlomba-lomba menghasilkan karya
intelektual mereka. Sehingga sejarahpun mengenal mereka.
Hal ini berbanding
terbalik dengan kondisi kaum muslim saat ini. Minat baca dan minat menulis
sangat rendah pada diri kaum muslimin. Di kampus-kampus yang notabene adalah
tempat mencetak para intelektual, kondisinya sama, minat baca dan tulis yang
sangat rendah. Hampir-hampir majalah dinding yang tersedia tak pernah dibaca.
Hampir-hampir setiap kali bertanya kepada teman-teman mahasiswa mengenai
informasi di mading, tak ada yang mengetahuinya. Sampai-sampai, kami para
aktivis kampus berusaha sekreatif mungkin menghasilkan pengumuman acara, dengan
warna mencolok dan tulisan besar serta singkat. Sebab kalau kebanyakan pra
kata, ya nggak dibaca. Hasilnya, koleksi buku-buku yang tersedia di perpustakaan
umum jumlahnya minim saat ini.
Memang belakangan
kembali muncul gerakan minta baca dan tulis. Ditandai dengan bermunculannya
para penulis baru yang menghasilkan buku maupun tulisan di dunia maya. Ya
termasuk saya ini. Tapi, tetap saja jumlahnya lebih sedikit dibanding yang ogah
nulis.
Apresiasi dan
peningkatan taraf berfikir, itulah yang dilakukan di masa Islam. Sehingga
masyarakat cinta belajar. Meski alat tulis tak secanggih sekarang, namun ulama
Imam Syafi’i mampu menulis buku dengan ketebalan luar biasa. Maka kita harus
bangkit.
Kebangkitan yang dimulai dari taraf berfikir, yaitu memahami bahwa
tujuan hidup kita adalah berbakti sepenuhnya pada Allah Swt dan menjadikan ilmu
pengetahuan sebagai jalan meraih ridhaNya. Tak lupa pula untuk terus berjuang
dalam mengembalikan realitas kehidupan Islam ditengah-tengah kita. Menulislah,
karena menulis berarti bekerja untuk sejarah. Sekali lagi, bukan sekedar karena
ingin dikenal. Melainkan karena Islam layak tersebar sebagai rujukan bagi
manusia di seluruh alam. Wa ma taufiqi illa billah.
0 Comments
Post a Comment