Aku Islam |
“Ra, kan gak harus buka kerudung. Kamu
tetap bisa ngemsi berpakaian adat tanpa buka kerudung kan.”
Vira hanya diam. Pena dalam genggaman
gadis berkerudung, berkulit putih dan berhidung mancung itu menari-nari di atas
buku yang sedang ditatapnya. Ia asyik melengkapi catatan pelajaran kemarin. Terpaksa
ia ketinggalan pelajaran karena latihan membawakan acara pada perpisahan kakak
kelas nantinya. Ucapan sohibnya tak
dihiraukan. Baginya ocehan Titin hanya angin lalu. Ia sudah lama menunggu moment
itu. Berdampingan dengan Rangga dan cuap-cuap berdua di atas panggung.
Titin menatap terus ke arah Vira, berharap
Vira membalas tatapannya dengan binar penyesalan. Namun sia-sia. Vira tetap
bergeming. Titin melemparkan pandangannya ke arah jendela. Ia mencoba
mencari-cari kalimat apa yang dapat menyentuh pedirian sahabatnya itu. Ia tak
rela, hanya karena pesona dunia Vira lemah. Ia yakin kebahagiaan hanya angan
bila justru menjauh dari Sang pemilik kebahagiaan. Titin ingin Vira sadar.
“Ra, aku sayang sama kamu. Makanya aku
ngingatin kamu. Bukankah wujud kasih sayang tertinggi bagi saudara seiman
adalah nasehat pada agama? Nggak mungkin aku biarkan sahabatku lupa sama
Allah.”
Vira menghentikan laju penanya. Rayuan
Titin dibalas dengan tatapan garang. “Kamu nggak usah lebay amat deh. Aku masih
salat. Aku masih tutup aurat. Aku cuma pengen terlihat sempurna saja di acara
nanti. Lagian niatku baik kok. Mau melatih diriku supaya lebih percaya diri di
atas panggung. Pakaian adat batak samosir tuh lebih alami terlihat kalau aku
pakai sanggul. Aku cuma akan buka kerudung sekali ini saja. Kamu berhenti
meneror aku. Dasar nyinyir.”
Puas meluapkan kekesalan Vira membereskan
bukunya dan bergegas meninggalkan kelas. Titin terdiam. Ia tak menyangka begitu
cepat Vira berubah. Rasanya baru kemarin mereka jalan bareng ke musala sekolah SMA
Negeri 2 Medan itu, mengikuti kajian rutin yang diadakan oleh bagian keputrian
OSIS .
Masih tergiang-ngiang di telinga Titin,
harapan Vira untuk tak lagi buka kerudung setelah memahami materi tentang
aurat. Vira pun ingin mulai belajar pakai jilbab[1]. Titin
rindu Vira yang dulu. Vira yang menyambut nasihat Islam dengan antusias. Vira
yang berusaha segera mempraktekkan ilmu Islam begitu ia memperolehnya. Vira
yang hanif, yang mudah tersentuh kebenaran. Kini Vira telah melupakan
tekadnya, sejak kenal Rangga.
*****
Memasuki bulan kedua semester genap, Vira
ketemu Rangga di perpustakaan sekolah.
“Boleh
duduk di sini?”
Vira
mendongak ke arah suara itu. “Hemmm, kamu Rangga kan?”
“Oh
masih ingat sama aku. Boleh duduk?”
“Silahkan
saja. Ini kan tempat umum.”
Sebulan
yang lalu keduanya sama-sama terdaftar sebagai peserta lomba pidato Bahasa
Inggris antar sekolah yang diadakan oleh Komunitas Mahasiswa Sastra Inggris
Universitas Sumatera Utara. Vira memperoleh juara ketiga. Dan peringkat pertama
diduduki Rangga. Sebelumnya mereka tak pernah peduli satu sama lain. Belum
pernah tegur sapa. Karena lingkungan kelas mereka berbeda. Vira kelas dua
jurusan IPA. Sedangkan Rangga siswa setingkat yang masuk jurusan IPS.
Mulai saat itu, ada kekaguman yang hangat
meresap dalam dada Vira terhadap Rangga. Saingan yang mengalahkannya itu
bukannya membuat ia kesal, namun malah salut. Aksi Rangga pada saat lomba
memang memukau hampir seluruh hadirin yang ada dalam ruangan. Orasi seputar
narkoba ia sampaikan dengan lugas dan jelas serta dengan bahasa tubuh yang pas.
Dan itu dengan bahasa Inggris. Keistimewaannya disitu.
Jadi tidak salah lagi, sapaan Rangga
sebenarnya melambungkan hati Vira ke langit-langit perpustakaan. Ia gugup bukan
kepalang. Perasaan itu muncul dengan sendirinya, dan berusaha ia tutupi di
hadapan Rangga.
“Lagi baca apa?” tanya Rangga.
“Nih”. Buku dalam pelukan tangan Vira ditutupnya hingga
terlihat bagian sampul buku bertuliskan Kiat-Kiat Menjadi Muslimah Saliha.
Rangga tersenyum. Sekilas mata Vira
beradu dengan mata Rangga. Segera Vira menunduk, kembali menatap buku yang
masih berada di depannya. Disandarkan bahunya ke kursi. Ia buka kembali
lembaran-lembaran buku itu.
“Kamu nggak nyaman aku disini?” ucap Rangga
“Kok ngomong gitu?” Vira berkata sambil
menoleh pada Rangga.
“Merasa saja. Soalnya aku mengganggumu
membaca buku,” balas Rangga.
“Iya juga sih. Aku kira, kalau nggak ada
hal penting yang ingin dibicarakan, baiknya kita masing-masing membaca saja
tanpa suara.” Vira mencoba lepas dari percakapan tersebut.
“Aku ingin ngobrol sama kamu.” Ternyata
Rangga enggan membiarkan Vira duduk tenang.
“Maaf, yang aku tahu, ngobrol dengan
lawan jenis menurut Islam hanya seperlunya saja. Nggak perlu panjang lebar.
Bahaya.” Bela Vira.
“Maksudnya?” tanya Rangga.
“Bisa terjerumus ke dalam hal-hal yang
nggak baik,” jawab Vira.
Rangga tersenyum sinis.
“Vira. Ini tempat umum. Apa yang bisa
kita perbuat di keramaian seperti ini? Kamu itu cerdas. Harusnya kamu nggak
kaku gitu. Aku kan cuma mau sahabatan aja sama kamu. Aku mau berbagi pikiran
sama kamu. Masak nggak boleh. Kan Islam nyuruh kita mempererat silaturahmi? Ya
kan?”
Vira hanya diam. Perasaannya bergejolak.
Ada kenyamanan berada di dekat Rangga. Namun ada kekhawatiran di sisi lain
bahwa apa yang ia lakukan salah dimata Islam.
Yang aku lakukan ini benar atau salah.
Dia yang menyapaku. Nggak sopan amat aku ninggalin dia gitu aja. Dia kan cowok
baik. Tapi gimana kalau aku salah. Tapi
aku kan nggak berbuat apa-apa, cuma ngobrol aja. Ngomongin tentang ilmu kan
nggak masalah ya.
Bisik hati Vira sahut-sahutan memberi
penilaian pada apa yang sedang terjadi. Sampai pada satu titik tertentu, Vira
memutuskan untuk menuruti rasa nikmat dalam hatinya. Sementara Rangga masih
menunggu jawaban Vira sambil membolak-balik lembar buku yang sedari tadi
dipegangnya.
“Kamu hobi baca buku apa?” Vira menyapa
Rangga. Senyum kembali terlihat di bibir Rangga.
“Aku suka cerita kungfu. Baru saja
menyelesaikan seri silatnya Kho Ping Hoo. Komik Naruto juga suka”. Sebut
Rangga antusias.
“Lelaki amat,” Vira tersenyum.
“Kalau kamu gimana?” balas Rangga.
“Aku merasa haus ilmu Islam. Sedang banyakin baca
buku keislaman aja. Novel Islami juga suka”. Vira tak kalah antusias
menceritakan hobinya.
“Bagus deh. Biar kamu makin pintar,” puji Rangga.
“Eh kamu gimana sih bisa lancar gitu ngomong
bahasa inggrisnya? Aku kagum loh lihat kamu waktu lomba itu. Aku sih yakin kamu
bakal menang. Bagus sih.” Ceplos Vira.
“Sederhana, ala bisa karena biasa. Aku membiasakan
diri mendengar ucapan-ucapan bahasa inggris di youtube. Baca buku berbahasa
inggris. Dan nggak kalah penting, gabung english club. Dengan sesama teman
pencinta bahasa inggris, ada teman latihan dan kita bakal lebih konsisten.”
Terang Rangga.
“Iya sih, standar emang resepnya. Belajar apapun mesti gitu,
membiasakan diri.” Timpal Vira.
Buku-buku dihadapan mereka menjadi saksi bisu
keakraban yang mulai terjalin. Tawa canda menghiasi tiap pertemuan mereka. Di
toko buku, perpustakaan umum dan taman bacaan mereka bertemu. Tiga bulan
berteman, enam kali sudah mereka menikmati kebersamaan. Buku-buku menjadi
perantara, yang membuat Vira cukup tenang karena menganggap apa yang terjadi
bukan kesalahan. Toh, mereka bertemu karena ilmu.
***
Perpustakaan Daerah Sumatera Utara hari itu tampak
ramai. Disana sedang diadakan bazar buku memperingati ulang tahun kota Medan. Berbagai
posko berjejer di samping kiri dan kanan halaman perpustakaan menjajakan
berbagai jenis buku. Tersedia buku-buku penunjang pendidikan sekolah, novel
remaja, buku anak, resep masakan, berbagai buku tips dan lain sebagainya. Rata-rata
buku dijual berkisar antara lima ribu hingga tiga puluh ribu rupiah. Di atas
posko bertuliskan nama-nama penerbit buku mayor yang sudah tak asing lagi bagi
para pencinta buku.
Beberapa posko tampak ramai pengunjung. Di sekitar
kerumuman pengunjung terlihat buku-buku berserakan khas orang Indonesia. Di
ujung bagian tengah area berdiri panggung yang berisi kegiatan perlombaan untuk
pelajar. Lomba puisi, pidato dan bercerita silih berganti menghiasi panggung.
Pengunjung bazar bertemankan suara-suara yang berasal dari atas panggung. Dan
Rangga sedang melihat-lihat berbagai buku seputar otomotif tak jauh dari
panggung.
Sesekali Rangga melirik jam tangannya, lalu
kembali memandangi satu persatu buku otomotif di daerah itu. Tiba-tiba saku celana
panjang sebelah kanannya bergetar. Dirogohnya segera lalu dikeluarkan ponsel dari
sana. Ada sms dari Vira.
Aku udah nyampek gerbang perpustakaan, Rangga
dimana?
Rangga bergegas menuju gerbang perpustakaan
menemui Vira. Tak lama mereka sudah berjumpa lalu bersama melangkahkan kaki
menuju area bazar.
“Aku lama ya?” Tanya Vira
“Lumayan.” Rangga membalas sambil tersenyum.
Vira berjalan di depan, seolah menuntun Rangga
menuju lokasi yang diinginkannya. Vira memasuki posko yang dipenuhi buku-buku
obral seharga sepuluhribuan bergenre chicken soup.
“Aku mau lihat-lihat disini. Kalau kamu mau cari
buku favoritmu pergi aja.” Ucap Vira
“Aku undang kamu ke sini bukan cuma mau
lihat-lihat buku. Aku pengen diskusi sesuatu sama kamu.” Rangga sedikit
mengeraskan suaranya untuk mengimbangi suara dari panggung acara.
“Oh, apaan?” Balas Vira.
Rangga memberi isyarat pada Vira untuk mengikutiya
ke arah bangku yang terletak cukup jauh dari panggung. Rangga dan Vira duduk
sambil mengatur jarak. Ada satu buah bangku kosong diantara mereka.
“Aku ditunjuk panitia acara perpisahan nanti buat
jadi MC. Kamu tahu kan tugas aku tuh berat. MC menentukan acara berjalan
sukses, lancar, meriah atau sebaliknya. Nah aku butuh pendamping. Aku pilih
kamu. Mau?”
Belum sempat menjawab, tas mungil yang dari tadi
tersandang di bahu Vira bergetar tanda ponselnya berbunyi. Sms dari Titin.
Hari ini nggak muncul lagi Ra. Udah tiga kali kamu
nggak hadir pengajian. Kemana aja Ra?
Vira membalas sekenanya.
Maaf lagi sibuk Tin. Sampaikan maafku sama mbak
Maya ya.
”Apa tadi, ngemsi? Gimana tuh ceritanya?” Vira
melanjutkan obrolannya dengan Rangga.
“Iya, aku
mau minta kamu jadi MC pendamping aku. Gimana, bersedia kan?”
“Hemmm, aku pikir-pikir dulu ya.” Pinta Vira
“Aku tunggu sampai besok. Kalau besok ternyata
kamu nolak, aku segera sampaikan ke teman yang lain.” Desak Rangga.
“Kamu punya calon lain selain aku?” Tanya Vira
bernada ketus.
“Tentu. Aku kan nggak bisa jamin kamu bersedia mendampingiku.
Aku jadikan kamu kandidat utama karena aku menilai kamu cukup pintar.
Rencananya, aku bakal atur nantinya kita secara bergantian membawakan acara
dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Menurutku kamu cocok. Tapi kalau
kamu nggak bersedia, terpaksa aku cari yang lain.” Ancam Rangga.
Ucapan Rangga menusuk hati Vira. Kata hatinya
berkata jangan sampai kesempatan itu diambil cewek lain. Vira nggak rela.
Tapi ia juga bingung. Bagaimana kalau teman-teman
pengajiannya tahu? Kadang datang juga perasaan bersalah dalam hati Vira saat
bertemu Rangga dan menyembunyikan pertemuan itu dari teman-temannya. Namun
segera Vira menepis rasa itu. Ada pembenaran yang hadir dalam benaknya tiap
kali rasa bersalah itu datang. Aku hanya berteman saja kok. Aku nggak ngomongin
yang macam-macam kok.
“Sepertinya menarik juga tawarannya. Oke aku
ambil.” Vira segera memutuskan
Sesaat mendengar jawaban Vira, Rangga mengamati
satu persatu posko yang ada lalu melangkah ke salah satu posko yang tadi sempat
dikunjunginya sejenak, sebelum akhirnya ia berlama-lama bercengkrama dengan
buku otomotif.
Diraihnya satu buku dan dibawanya ke kasir posko
tersebut. Iya keluarkan lembaran uang lima ribu rupiah. Tak lama ia sudah
berada kembali di dekat Vira.
”Vir, coba kamu lihat gambar ini. Unik ya.
Maksudnya, jarang ya kalau acara-acara kayak perpisahan gitu pakai pakaian adat
batak. Kalau kebaya kan udah umum. Lagian kebaya khas budaya Jawa. Kita kan
sumatera. Aku pengen tampilin yang unik. Menurut kamu gimana, kalau kita pakai
salah satu pakaian adat batak untuk seragam kita nanti”.
Vira membisu. Matanya hanya mengikuti telunjuk
tangan kanan Rangga yang menyentuh lembaran buku yang dipegangnya.
“Ni bagus, pakaian batak Simalungun. Nggak salah
kepala sekolah kita juga asal Simalungun kan? Beliau bisa bangga lihat kita
pakai pakaian ini. Menggunakan pakaian berbahan Hiou[2], gotong[3],
bulang[4]
dan kain suri[5].
Ikat pinggang lelakinya gagah ni. Gimana menurut kamu?”
“Versi hijabnya gimana Ngga? Dipakai aja gitu ya”.
Tanya Vira.
“Coba kamu lihat. Sebenarnya kepala wanita ini
sudah tertutup setengahnya. Yang terlihat hanya sanggul saja. Aku pikir akan
lebih asli kalau kita tiru pakaiannya persis seperti yang digambar ini. Suasana
bataknya juga bakal lebih kental terasa Vir”.
“Maksud kamu aku buka kerudung? Nggak.”
“Sebentar aku bayangin kamu pakai kerudung dengan
pakaian ini. Emmm, nggak mecing Vir. Kan cuma sekali doang Vir. Besok-besok
silahkan aja kamu pakai kerudungmu. Nggak masalah”.
“Kamu keterlaluan. Aku mau pulang duluan.” berlalu
pergi meninggalkan Rangga.
***
Tiiitttt tiiitttttt….
Bunyi ponsel Vira membuyarkan lamunannya. Ia
bangkit dari tempat tidur menuju meja belajar, lalu mengambil ponsel itu.
Vir aku hargai prinsip kamu. Tapi maaf aku nggak
bisa penuhi permintaan kamu. Kamu ingat Hani, pemenang kedua lomba kemarin. Dia
bersedia jadi pendamping aku Vir. Kita tetap sobatan kan? Met tidur Vir.
Hati Vira sesak. Iya tak suka mendengar nama lain
dekat dengan Rangga. Tapi Rangga meminta sesuatu yang tak bisa dipenuhinya. Ia
bingung harus berbuat apa.
Vira mondar mandir di kamarnya. Sesekali wajahnya
menengadah ke atap kamar. Rekaman moment bersama Rangga memenuhi pikirannya.
Ada kesejukan terasa dihatinya. Rangga begitu lugas menjelaskan banyak hal
padanya. Rangga gudang ilmu. Rangga anak yang cerdas. Rangga juga humoris.
Menyenangkan. Nggak membosankan sama sekali.
Ia menimbang-nimbang manfaat yang bakal
diperolehnya kalau menuruti kata-kata Rangga. Melatih kepercayaan diri. Lebih
dikenal kakak kelas dan para guru. Dan yang terpenting, ada Rangga
disampingnya.
Begitu banyak manfaat yang didapat kenapa harus
ditolak? Toh Allah Maha Pengampun. Aku
bukan menelanjangi diriku. Aku masih berada dalam batas wajar.
Vira tak kuasa menahan diri. Perlahan tapi pasti ia
meninggalkan satu persatu prinsip Islam yang sempat dianutnya. Bukan boleh atau
tak boleh menurut Islam lagi, tapi pertimbangan manfaat yang membenarkan
perbuatan. Vira mencoba peruntungan dengan kirim pesan ke Rangga.
Ngga, sikapku belum final kemarin. Sebenarnya aku
pengen nyobain. Kamu udah terlanjur bilang ke Hani ya. Seandainya masih bisa.
Tak menunggu lama, balasan yang diharapkan Vira
dikirim
Dari awal aku kan emang pilih kamu Vir. Beres deh
ntar aku batalkan ke Hani. Senang kerjasama sama kamu J
***
Isyarat
tanda istirahat belajar berbunyi, Vira dan Titin langsung berjalan beriringan menuju
kantin.
“Tin,
kalau kamu dapat kesempatan emas yang mungkin nggak datang dua kali, kamu ambil
nggak?” Vira berkata pada Titin yang duduk tepat di depannya dan sedang asyik
mengunyah bakso makanan favoritnya.
“Tergantung,
kesempatan apa dulu nih. Selama dibenarkan Allah, kalau aku suka bakal aku
ambil dong”, tukas Titin.
“Aku
terpilih buat ngemsi di perpisahan nanti.” Ucap Vira.
“Oh
bagus dong”. Titin masih fokus dengan mangkuk baksonya.
“Cuma
ada sedikit masalah. Aku mesti pakai pakaian adat batak Mandailing. Pakai
sanggul dengan penutup kepala khas pakaian itu.”
“Siapa
yang mengharuskan?” Tanya Titin dengan suara terdengar terkejut.
“Pasangan
ngemsiku”. Jawab Vira.
“Loh,
apa hak dia mengharuskan kamu membuka kerudung. Kamu berhak menolak dong. Emang
dia siapa. Kok seenaknya ngatur-ngatur kamu. Coba kamu sampaikan ke paitia
minta ganti pasangan. Atau nggak usah sekalian Ra. Buat apa hanya karena ngemsi
sesaat kamu dapat dosa. Nggak banget Ra.”
“Aku
udah pikirin masak-masak Tin. Pakaiannya nggak terbuka kok kecuali setengah
kepala bagian bawah. Aku pengen ambil kesempatan ini. Aku pikir ini bagus.”
“Ra,
kamu sadar yang kamu lakukan? Kamu paham kewajiban menutup aurat. Kamu anak
pengajian Ra. Kamu kan punya daya tawar. Kamu bisa meminta untuk tetap pakai
kerudung!”
Rentetan
kalimat Titin menyinggung Vira. Bukan ini yang ia harapkan. Keinginannya bulat menjadi
pendamping Rangga di acara perpisahan nanti. Dan ia butuh dukungan, bukan repetan.
Vira bangkit dari duduknya menuju ibu kantin, membayar makanannya lalu kembali
ke kelas tanpa menoleh apalagi mengajak Titin. Tak lama Titin menyusul Vira ke
kelas.
***
Acara
perpisahan semakin dekat, tinggal satu minggu lagi. Sudah seminggu lebih sejak
perselisihan Vira dan Titin, mereka tidak bertegur sapa. Vira selalu menghindari
Titin tiap kali Titin ingin menegur. Hari ini sehabis waktu belajar Vira
kembali latihan bersama Rangga di ruang OSIS.
Tanpa sengaja mata Titin bertemu sosok Vira saat
melalui ruangan itu. Vira bercengkrama dengan Rangga dan pengisi acara lainnya.
Raut kesedihan tampak di wajah Titin. Sahabatnya semakin jauh darinya. Bukan
saja kabar bahwa Vira hendak buka kerudung yang menyedihkan. Kedekatan sama
Rangga juga mengecewakan Titin. Pemahaman Islam tentang pergaulan sudah pernah
sampai ke Vira. Tapi Vira mengabaikannya. Titin cuma bisa menyimpan harap,
semoga Allah berkenan mengetuk pintu hati dan pikiran Vira hingga ia kembali
seperti Vira yang Titin kenal.
***
Pagi
yang cerah, Hotel Gran Aston Medan, tempat acara berlangsung mulai ramai oleh
peserta. Dibelakang panggung Vira bersiap-siap untuk didandani. Tinggal
menunggu nasi gurih di piring Vira dan penata rias habis. Vira merasa gugup,
beberapa jam lagi acara akan dimulai. Vira berpesan pada penata rias agar
mendandaninya secara minimalis.
Tak lama Rangga muncul dengan setelah pakaian adat
Simalungun sesuai rencana. Ia tampak gagah menggunakan pakaian itu.
“Kamu siap Vir. Sebentar lagi kita tampil.”
“Insya allah.”
“Kamu cantik.”
Vira tersipu mendengar pujian Rangga.
Tepat pukul delapan pagi, tirai panggung dibuka
perlahan, hingga paggung tampak secara keseluruhan. Vira dan Rangga berdiri
bersebelahan di sisi panggung bagian kanan. Mereka pun kompak berjalan bersama
menuju bagian tengah panggung.
Beberapa langkah mereka berjalan, tangan kanan
Rangga tiba-tiba menggenggam tangan kiri Vira. Terkejut bukan kepalang, Vira
menoleh ke arah Rangga. Ini tak sesuai skenario yang ada. Tak pernah sekalipun
kulit mereka bersentuhan sebelumnya. Sejauh-jauhnya Vira meninggalkan kebiasaan
lamanya, namun berpegangan dengan pria asing tetap pantang baginya.
Mendadak Vira merasa panggung yang terang
benderang berubah redup. Tatapan ratusan pasang mata dihadapannya bagai mencela
dirinya. Keindahan yang selama ini ia rasakan tiap kali bertemu Rangga kini
hampa. Vira merasa harga dirinya dijatuhkan. Namun Vira tak kuasa bereaksi
lebih jauh kecuali sebatas tatapan penyesalan pada sikap Rangga. Peran ini terpaksa
ia mainkan sampai tuntas.
Saat break Vira hanya duduk diam. Ia menahan air
mata. Malu pada apa yang baru saja terjadi. Terbayang olehnya wajah tulus Titin
yang berkali-kali mengingatkannya bahwa yang ia kejar adalah kebahagiaan semu.
Vira ingin segera memeluk Titin. Vira tiba-tiba rindu suasana bersama
teman-teman pengajiannya.
0 Comments
Post a Comment