Wednesday, May 18, 2016

Intelektual Tanpa Moral, Salah Siapa?


Intelektual tanpa moral, kalimat ini barangkali yang sedang hinggap di kepala banyak orang sejak peristiwa duka tepat pada hari dimana Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei yang lalu. Dunia pendidikan telah dinodai. Padahal banyak harapan yang digantungkan pada mahasiswa. Mereka dijuluki agent of change. Sebab kelak di tangan merekalah nasib bangsa dipertaruhkan. 

Namun justru yang terjadi, mahasiswa tega berbuat amoral, mengakhiri nyawa dosennya sendiri, bahkan secara terang-terangan kejahatan itu dilakukan di lingkungan kampus. Di duga pemicu tragedi tersebut masalah dendam. Ingatan masyarakat kembali dihentak, bahwa ada yang salah pada proses pendidikan terutama di kampus.

Masalah Mahasiswa

Kalau bukan karena sedang berada dipuncak kemarahan, siapa yang tega menyakiti orang lain? Kalau bukan karena akal sehat yang sedang hilang, apa mungkin berani berbuat kesalahan, tanpa pikir panjang akan akibat di masa mendatang? Kenapa mahasiswa, kaum intelektual berbuat kejahatan yang sedemikian fatal? Mengapa ia bisa begitu kehilangan moral?

Penulis juga pernah jadi mahasiswa. Penulis sudah pernah menyaksikan dan merasakan berbagai permasalahan kampus yang memicu mahasiswa menjadi stress, panik, emosional hingga dapat bertindak di luar batas. Penulis menyaksikan teman-teman yang belajar di Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan (FMIPA), Jurusan Farmasi, begitu sibuk dengan jadwal kuliah. Kegiatan begitu padat terutama pada aktivitas praktek di laboratorium. Kapasitas laboratorium yang sebenarnya terbatas untuk sejumlah mahasiswa, namun karena ada unsur orientasi materi menjadi over kapasitas. Antrian panjang pemakaian laboratorium membuat pengaturan jadwal menjadi kacau.

Satu grup mahasiswa harus memadatkan agenda praktikum dalam sehari, pukul delapan pagi hingga pukul dua siang. Mereka diberikan waktu istirahat sangat sempit sekitar 15 menit hingga 30 menit untuk salat dan makan siang. Jam setengah tiga mereka harus kembali menjalani perkuliahan hingga sore. Hal seperti ini berulang dua sampai tiga kali seminggu. Sering mahasiswa harus memilih antara ibadah atau makan. 

Di luar kuliah mereka diberi tugas cukup banyak. Tak jarang mereka terpaksa bergadang demi mengerjakan tugas kuliah yang bejibun. Penulis melihat sendiri kelelahan teman-teman di Jurusan Farmasi. Bahkan ada yang sampai muntah-muntah dan pingsan karena amat lelah dan tidak teratur makan. Ditambah lagi, padatnya aktivitas kuliah membuat mahasiswa tak lagi berpikir tentang persoalan di luar kuliah, berpikir tentang persoalan masyarakat misalnya, tidak sempat. Pada tetangga pun menjadi kuper (kurang pergaulan). 

Penulis sendiri merasakan kejengkelan saat suatu kali jadwal ujian dimulai tepat masuknya jadwal salat asar. Soal yang diberikan cukup banyak hingga perlu menghabiskan waktu sekitar dua jam untuk mengerjakan. Mahasiswa yang rata-rata senang melalaikan salat benar-benar memiliki alasan untuk tidak salat. 

Sementara yang lainnya, harus secepat mungkin mengerjakan ujian agar tidak begitu jauh melalaikan waktu salat. Hal serupa cukup sering terjadi, dimana jadwal kuliah berjalan tepat di waktu salat. Seakan ibadah tidak penting. Masalah lainnya yang dialami mahasiswa berkisar seputar proses penyelesaian tugas akhir yang kadang terhambat dan terlambat karena kesulitan secara administrasi dan lainnya. Belum lagi masalah biaya kuliah yang tinggi, menambah beban pemikiran mahasiswa.
Sistem Pendidikan Gagal

Bila output pendidikan ternyata tak sesuai harapan, harus ada evaluasi total terhadap sistem pendidikan kita. Jika diperhatikan, sistem pendidikan kita hari ini terutama untuk kampus, menganut sistem kapitalis berbasis sekuler. Ia-nya pun bersifat komersil. Pendidikan menjadi aspek yang pemenuhannya amat mahal. Sementara kurikulum yang diberlakukan berorientasi materi dengan tujuan menghasilkan sarjana-sarjana sesuai permintaan pasar yaitu kualitas pekerja. Dimana posisi agama? 

Sistem kapitalis-sekuler telah menjauhkan peran agama dari kehidupan. Agama hanya dijadikan sebatas pengetahuan dan ritual belaka. Ini terlihat dari porsi mata kuliah agama di perkuliahan yang hanya satu hingga dua sks, diberikan di semester satu hingga semester empat saja dan dilakukan dengan pendekatan teoritis tak membekas.

Dalam keadaan seperti inilah pembentukan pribadi mahasiswa dilakukan hingga wajar terbentuk generasi yang kering jiwanya, keras mentalnya dan galau menghadapi masalah. Buntutnya mereka sering mencari solusi instan disertai kenekadan juga keputusasaan. Tragedi di UMSU hanyalah satu dari berbagai kasus kriminal yang menimpa mahasiswa. Masih ada mahasiswa yang terjerat narkoba, melakukan seks bebas, tawuran, bunuh diri, korupsi para pejabat yang nota bene lulusan kampus dan lain sebagainya. 

Kala sekulerisme menghendaki seluruh aturan hidup hanya berlandaskan keterbatasan akal manusia semata, maka mustahil mampu terwujud generasi yang bertakwa. Maka mengatasi masalah bobroknya moral generasi tidak cukup hanya dengan melakukan pendekatan- open minded – saling terbuka, sharing dan membangun kepedulian antara dosen dan mahasiswa semata.

Perbaiki Sistem Pendidikan

Permasalahan tersebut sebenarnya dapat tuntas dengan memperbaiki sistem hidup yang mempengaruhi pemahaman dan prilaku generasi. Pribadi seseorang mulai dibentuk sejak ia lahir ke dunia. Maka sejak dini peran keluarga dibutuhkan untuk merawat dan mendidik anak secara maksimal sesuai tuntunan syariah. 

Masyarakat sebagai lingkungan yang juga memberi pengaruh pada pembentukan pribadi anak haruslah menghadirkan suasana penuh kebaikan. Masyarakat selayaknya membudayakan nasehat menasehati, ingat mengingatkan dalam ketaatan dan peduli pada berbagai gejala penyimpangan prilaku orang-orang di sekelilingnya hingga penyakit sosial cepat terdeteksi dan tidak sempat merebak.

Selain itu, pemerintah sebagai pemilik kekuasaan semestinya mampu mengurus rakyatnya secara maksimal. Pemerintah harus menyediakan sistem pendidikan berbasis akidah Islam dengan kurikulum yang mampu membentuk pribadi beriman dan bertakwa serta memiliki kompetensi guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebab kita berhadap output pendidikan memiliki pribadi kuat, sosok cerdas menghadapi masalah dan hanya takut kepada Allah Swt semata. 

Hanya saja peran negara seperti itu tak dapat terwujud dalam tatanan Kapitalisme yang meminimalisir peran negara dan memperkuat peran para pemilik modal. Tak pantas kita saling menyalahkan terhadap masalah yang ada. Sebaliknya kita harus berani mengakui kesalahan dan merubah apa yang salah. Maka jika Kapitalisme terbukti tak mampu membawa generasi pada sosok intelektual hakiki, maka liriklah Islam. 

Hanya negara yang menerapkan Islam secara kaffah-lah yang mampu melaksanakan peran strategis ini. Hanya tatanan Islam dalam institusi Khilafah Islamiyah-lah yang mampu menghapus potret buram generasi pada saat ini menjadi potret cemerlang dan gemilang. Wallohu A'lam Bisshawab

dimuat di Harian Waspada Medan, 18 Mei 2016

0 Comments

Post a Comment