![]() |
Penulis Alga Biru nulis tentang Professor Aznan Lelo dengan judul "Prof Aznan Dalam Ingatan". Karena saya juga punya pengalaman tentang Prof Aznan, jadi pengen nulis juga tentang dokter yang satu ini. Sebelumnya saya sudah pernah nulis tentang pendapat Prof Aznan terhadap MSG, ni dia http://evaarlini.blogspot.co.id/2015/08/narkoba-mengancam-keluarga.html
Artinya ini tulisan kedua tentang beliau. Kalau Alga sebagai mahasiswa pak Prof, kalau saya pernah jadi pasien beliau.
Tahun ke-2 pernikahan, saya mengalami suatu penyakit yang nggak ngerti namanya apa. Yang jelas sakit itu terasa di daerah sensitif saya. Saat saya curhat dengan teman tentang penyakit saya, beliau menyarankan saya berobat ke dokter Aznan. Kok rekomnya ke situ? Ia, soalnya saya sedang krisis keuangan saat itu, dan kabarnya dokter Aznan terkenal tidak menetapkan tarif buat pasien beliau.
Temannya pun ngasih alamat plus ngasih tahu jadwal dokter Aznan praktek. Karena kesibukan beliau, tidak setiap hari praktek pengobatan di rumah mertua beliau itu ditangani sendiri oleh pak dokter. Sekitar dua dampai tiga hari dalam seminggu kalau nggak salah dokter Aznan ke luar kota.
Saya berobat di hari senin, tepat saat dokter Aznan ada di tempat. Tiba di tempat, sudah ramai calon pasien menunggu. Saya menuju tempat pendaftaran lalu mendaftarkan diri dan mengambil amplop yang disedikan untuk tempat ongkos berobat. Amplop itu boleh diisi uang sesanggupnya.
Tiba giliran saya, pak dokter melayani saya dengan baik. Kepada suami saya pak dokter memberi beberapa saran demi membantu penyembuhan saya. Lalu saya dikasih obat dan resep obat untuk pengobatan lebih lanjut, bila obat yang diberi pak dokter belum menyembuhkan.
Benar yang dikatakan dari mulut ke mulut itu, kalau pak dokter ini baik sekali, tidak mengenakan tarif dan memberi resep yang harga obatnya terjangkau. Alhamdulillah, penyakit saya pun sembuh. Terima kasih pak dokter. Semoga sehat selalu dan mendapat berlimpah kebaikan dari Allah Swt, amin.
![]() |
Prof Aznan Brifing Untuk Syuting di Kick Andy |
Ikutan juga deh, share tulisan menarik ini tentang Prof
Aznan..
Aznan Lelo “Dokter Ikhlas tanpa papan nama”: Dokter Mestinya
Tak Boleh Pasang Tarif
Penulis: Feriansyah Nasution
Sebuah bangunan tua di kawasan Jln. Puri Medan, Kelurahan
Komat, Kecamatan Medan Area, Medan Sumatera Utara, kerap didatangi orang-orang
yang mengendarai becak, sepeda motor, hingga mobil. Mereka adalah pasien
seorang dokter yang akrab disapa Buya. Nama lengkap sang dokter dengan deretan
gelarnya adalah Prof. Dr. Aznan Lelo Ph.D, Sp.FK.
Di kediamannya itu, guru besar Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara (USU) ini membuka praktik tanpa memasang papan nama,
kepada pasiennya dia tidak memasang tarif. Pasien membayar jasa konsultasi dan
obat racikannya sesuka hati. Resepnya untuk obat apotek pun terjangkau. Cukup
fenomenal, kontras dengan umumnya dokter, apalagi di kota-kota besar.
Mengisi amplop sekehendak hati
Biasanya praktik buka pukul 17.00 WIB. Ada pasien yang datang
dan mendaftar sejak siang kemudian pergi, banyak pula yang datang langsung
mendaftar dan menunggu giliran. Ruang tunggu yang juga bagian dari garasi itu
kadang dipenuhi pasien, sesuai giliran mereka masuk ke ruang praktik berukuran
minimalis.
Di meja registrasi di ujung garasi itu disediakan
amplop-amplop putih bergaris putih biru-merah. Pasien yang sudah sering datang
tahu cara dan jumlah pengisian amplop untuk tarif “ikhlas hati” itu. Amplop
yang sudah diisi dibawa masuk ke ruang praktik saat diperiksa, dan seusai
pemeriksaan ditinggal di meja dr. Aznan. Bagi yang belum tahu dan menanyakan
biaya, ada kalanya kena semprot kegusaran dan ketersinggungan Pak Dokter.
Kadang dr. Aznan memberikan obat hasil racikannya sendiri,
kadang pula menuliskan resep. Obat-obat yang dipilihnya pun generik, bisa
diperoleh di banyak apotek dengan harga terjangkau.
Andi (30), seorang kontraktor yang tinggal di Jln. Eka Rasmi,
Kelurahan Gedung Johor Medan, yang datang dengan mobil APV putih, mengatakan,
alasan utama membawa tiga anaknya ke dr. Aznan bukan hanya karena sang dokter
tidak mematok tarif. Tapi ia betul-betul percaya pada kualitas dokter itu. Hari
itu ketiga anaknya menderita batuk pilek.
“Tiga anak saya ini dulu punya penyakit kelenjar di leherny
Dokter lain yang pernah saya datangi memvonis harus diambil tindakan medis.
Tapi alhamdulillah, sama Buya tidak. Waktu itu pengobatannya selama enam bulan,
dan radang kelenjar pada tiga anak saya sembuh,” kata Andi.
Ia menuturkan, metode pengobatan yang dilakukan dr. Aznan
sangat teratur dan bagus karena punya keahlian meracik obat. “kalau dokter lain
resep obatnya mahal. Di sini obat yang diresepkan Biaya relatif terjangkau kita
bisa dapat di apotek mana saja. Komposisi obatnya saya rasa sangat tepat,
karena beliau sendiri ahli farmakologi,”
Sebagai pasien yang sudah sering berobat kepada dr. Aznan,
Andi cukup tahu diri mengisi amplop. “Saya sewajarnyalah, apalagi kalau anak
kita sudah sehat, maka kalau ada rezeki kita tambah, kalau tak ada ya ala
kadarnya.”
Ia menilai dokter Aznan juga rajin bersedekah. “karena sudah
lama kenal, pernah juga membuka amplop dari pasien di depan saya. Saya lihat
bahkan ada yang memberi Rp. 5.000. Pernah uang dari amplop pasien dibelikan
durian untuk dimakan sama-sama, “ujarnya”
Membandingkan dr. Aznan dengan dokter lain, Andi berkomentar,
“Waduh, kalau di luar sana, untuk dokter anak saja, sekali konsultasi bisa Rp.
200.000. Itu lain obat yang terkadang kan ada dokter yang komersil, diresepkan
kepada kita brand tertentu yang susah kita cari, mau tidak mau kita beli dari
apoteknya.
Pendapat senada diungkapkan Restu Manik, (30) warga Jln.
Siriaon, Mandala By Pass, Medan. Restu, karyawan di PT Media Elektronik,
mengaku pada 2005 divonis dokter THT (telinga hidung tenggorokan) mengidap
polip pada hidungnya dan harus menjalani operasi kecil.
Dari temannya ia tahu praktik dokter Aznan, kemudian dia
datangi. “Alhamdulillah, setelah minum obat resep dari Buya, polipku sembuh
dalam empat bulan.”
Dari pengalamannya berobat ke dr. Aznan, Restu menceritakan
pasien datang dari pelbagai tempat. Dari Aceh, Padang Sidimpuan, Rantau Prapat,
dsb.
“ada pasien dimrahi. Dia nanya berapa biaya berobatnya, terus
kena sental (dimarahi) sama Buya, “udah gak usa bayar aja, kata Buya, ” cerita
Restu.
Menurut pengakuan Restu, sekali berobat ia memasukkan Rp. 25
ribu, kadang Rp. 30 ribu dalam amplop. “beginilah dokter yang kita inginkan,
arif, bijaksana dan tidak komersil.”
Belum punya rumah
Apa motivasi sang profeser doktor tidak mematok biaya
konsultasi, mengingat dari pengakuannya, dia tidak punya rumah sendiri?
Memang ada satu rumah BTN yang dibelinya secara kredit sejak
1981 di kawasan Johor, tapi tidak sempat ia nikmati. “Oh, aku sampai sekarang
tak punya rumah, biar kau tahu. Ini rumah mertuaku, yang ada di kampus USU itu
kan rumahnya USU. Adapun rumah BTN yang dulu kucicil dari RISPA, tak sempat
kunikmati karena disewakan,” ujar Aznan.
Aznan yang tak terlalu bernafsu memikirkan harta duniawi.
Prinsip hidupnya sederhana, “Aku yang penting tak ada utang, itu saja
prinsipku.”
Prinsip itu telah tertanam di dalam dirinya sejak kecil.
Hingga dewasa, prinsip itu terus dia pegang menjadi keyakinan. “Allah sudah
mengatakan bahwa dia itu Arrahman Arrahim (Maha Pengasih dan Maha Penyayang)
dan Allah Khairurrazikin (pemberi rezeki yang paling canggih, palking baik, tak
ada duaNya). Dari kecil sudah disampaikan dan hingga sekarang masuk di otakku,
masuk di keyakinanku, bahwa langkah, rezeki, pertemuan, maut, hanya Allah yang
tahu. Aku tak tahu Allah itu telah mempersiapkan berapa banyak rezeki samaku
dan seberapa untuk kau. Dan aku tidak akan mati, kau juga tidak akan mati
sebelum rezeki yang diberi Allah itu kita habiskan,” kata ayah tiga anak yang
makin yakin dengan jalan pelayanan yang dia tempuh sepulang meraih gelar Ph.D.
di Australia pada 1987.
Dituding ekstrimis
Sebelum berangkat ke Australia sekitar 1983, Aznan menghadapi
tantangan yang cukup besar. Ia dicekal pemerintah, tidak boleh ke luar negeri
karena dituding sebagai ekstrimis.
“Dari tahun 1980 sudah ada panggilan agar aku berangkat ke
Australia untuk mengambil Ph.D. Tapi ternyata di negeriku yang amat sangat
tercinta ini, aku disebut ekstrimis. Aku kena cekal, dikatakan Islam ekstrimis,
sama waktu itu dengan orang-orang yang tidak boleh berpergian ke luar negeri,”
kisahnya.
Aznan sempat patah arang untuk belajar ke Australia. Namun,
setelah ia meminta nasihat kepada ustaz, optimismenya muncul lagi. “kata ustaz,
“tak beriman kau Aznan, andaikata rezeki itu memang disiapkan untuk kau ke sana
(Australia). Itu artinya kau akan sampai, walaupun kau kesana naik kereta api,”
katanya mengenang.
“Berarti, kalau memang ada rezekiku di Australia, artinya aku
akan tetap sampai kesana. Kalau ada sepiring nasiku di sana , aku harus sampai
kesana untuk menghabiskan sepiring nasi tadi,”: tegasnya.
Hikmah yang dipetik dari pengalaman itu, lanjut Aznan, dalam
kehidupan ini manusia tak usah selalu heboh. Sebab pada dasarnya rezeki
masing-masing orang sudah ditentukan Yang Maha Esa. “Tak perlu heboh kali, buka
praktik di sana-sini. Sudah, kerja ajalah yang baik. Apa kerja kau, wartawan,
berprofesilah kau sebagai wartawan. Aku dokter, berprofesilah aku sebagai
dokter. Jangan nanti penampilan ustaz, tapi tujuannya ngambil duit, penampilan
wartawan tujuannya ngambil duit, penampilan dokter tujuannya ngambil duit, guru
ngambil duit, polisi ngambil duit, hakim ngambil duit, pengacara ngambil duit.
Itu salah!”
Dokter bagi aznan, adalah profesi yang tidak boleh menetapkan
tarif jasa pembayaran. Sama halnya seperti dua profesi lainnya, yakni pengacara
dan guru. “Yang datang ke pengacara itu kan orang meminta nasihat, datang ke
guru karena orang mau belajar, datang ke dokter karena orang mau minta
pengobatan. Jangan dibilang, eh sudah kutolong kau, mana duitnya. Itu tidak
boleh. Terkecuali karena ilmu kita dia pintar lalu dia kaya, terus dia memberikan
sesuatu tidak kita minta, boleh.
Jadi, tiga profesi ini mestinya tak boleh membuat tarif,”
katanya.
Aznan mengaku pasti, prinsip dia diragukan orang. Bagaimana
ia membiayai hidup keluarga dan menyekolahkan anaknya hingga ketiga anaknya
meraih sarjana?
“kan bingung juga kau, kok bisa hidup dokter, punya isteri,
anak sarjana semua, dua orang jadi dokter dan satu sarjana hukum. Berdagang
rupanya dokter? Kau tanya semua orang aku tak ada berdagang. Aku dosen, makin
tak bisa aku minta duit sama muridku. Lalu dari mana? Oh itu semua buah kasih.
Bagaimana bentuknya, ya macam-macam, seperti orang mengucapkan terima kasih,”
katanya.
Praktik hingga dinihari
Praktik dokter Aznan aelalu dipadati pasien yang jumlahnya
mencapai ratusan. Akibatnya ia sering harus membuka praktik hingga dini hari,
terkadang sampai pukul 01.30. Tentu sang profesor dibantu beberapa mahasiswanya
yang sedang coass (magang dokter).
Setiap pasien yang akan masuk ruang praktik dipanggil oleh
coass, terkadang isteri Aznan, Yanti, juga turut memanggil. Di dalam ruang
praktik yang leluasa dilihat, rata-rata pasien diperiksa sekitar 5-15 menit.
“minimal sehari 30 pasien. Nggak ada saya pun 30 paling sedikit. Kalau saya ke
luar kota, bila ada kejadian yang sulit, anak saya yang dokter bisa menghubungi
saya. Pasien juga bisa bertanya langsung melalui telepon,” kata Aznan.
Selain datang dari pelbagai daerah, pasien dr. Aznan juga
beraneka jenis kelamin, tingkat usia, suku bangsa, dan agama. Bahkan seorang
biarawati Belanda pernah menjadi pasiennya. Soal bayarannya, Aznan mengatakan
tidak penting. Dia bilang, “Kalau dia mau datang jauh-jauh jumpai aku, berarti
kan dia menghormati aku. Bisa rupanya dibayar penghormatan itu?”
Kembali ke soal bayaran seikhlasnya tadi, dengan ekspresi
datar Aznan mengatakan, “Ada Rp. 5.000, lima ratus rupiah pun ada, yang kosong
juga ada.”
Apakah tidak merasa sakit hati dengan amplop kosong itu?
“Sama siapa aku harus sakit hati? Nggak mungkin. Bisa rupanya kutandai amplop
ini dari si anu, ini dari si anu dari begitu banyaknya amplop tadi?” ia
tersenyum.
Namun Aznan mewanti-wanti tindakannya tidak perlu dicontoh
oleh dokter lain. “Kalau aku boleh kasih nasihat sama kawan-kawan dokter,
jangan tiru aku. Kalau pun mau kan sudah kujelaskan tadi, bahwa harus yakin
dulu dengan ke-Islaman. Bahwa Islam itu rahmatan lil `aalamin
0 Comments
Post a Comment