ilustrasi by |
Cerita Lebaran I
Lebaran
penuh cerita. Bukan lebaran namanya kalau tidak berkunjung kerumah keluarga dan
kerabat. Bertemu sapa, bertukar cerita dan merasakan pengalaman indah mereka. Cerita
bahagia, ku dapatkan dari keponakan. Seharusnya kabar ini sudah ku ketahui
sejak lama. Tapi karena satu dan lain hal, cerita ini baru kudengar saat kumpul
lebaran.
Beberapa
waktu sebelum ujian akhir, kakak ipar ngobrol bareng anaknya/ ponakanku. “Dian,
kalau Dian juara, trus dapat satu juta, enak juga ya. Dian bisa beli macam –
macam.” Dian duduk di kelas 2 SD. Dia belum pernah dapat ranking puncak di
sekolah. Capaiannya selalu di bawah 10 besar, mendekati angka 20. Nah,
perusahaan swasta daerah rumah Dian memberi beasiswa sebesar 1 juta rupiah
untuk siswa juara satu di Sekolah Dian.
Makanya, kakak ipar berpikir, kalau
Dian bisa meraih juara satu, lumayan hadiahnya. Tebak apa yang terjadi, saat
pengumuman juara pasca ujian semester itu, Dian juara satu. Pengumuman tidak
disaksikan secara langsung oleh ibunya Dian.
Selesai pembagian rapor, Dian pulang
dengan menyandang gelar juara. Sepanjang jalan menuju rumah, Dian bernyanyi riang,
merasa senang. Sampai di rumah. Kalimat yang diucapkan Dian, “Dian nggak
nyangka loh buk. Kok bisa ya, Dian juara satu buk.”
Ibunya
Dian sempat nggak percaya. Sebelum akhirnya benar – benar nyata terlihat
tulisan dalam rapor, Dian juara I.
Kabar selanjutnya, tahun
ini si perusahaan swasta nggak ngasih beasiswa lagi buat anak juara di Sekolah
Dian. Tapi, kekecewaan itu tak seberapa, dibanding kejutan bahwa Dian mampu
meraih prestasi luar biasa.
Saya bukan hendak mengatakan bahwa pencapaian nilai
adalah yang utama. Sebab, sering nilai tak mencerminkan output yang sebenarnya
yaitu kecerdasan secara pemikiran dan prilaku. Bahkan adakalanya, nilai dicapai
karena nepotisme atau dengan kecurangan.
Meski saya yakin untuk anak kelas dua
SD, kemungkinan curang kecil terjadi. Kalau tentang nepotisme, Dian bukan anak
guru ataupun tokoh berpengaruh. Untuk Dian, saya yakin semangatnya tumbuh
hingga bisa menjawab soal – soal ujian dengan baik karena motivasi ibunya.
Saya ingin ambil dua pelajaran
dari cerita Dian. Pertama, motivasi orangtua itu penting buat anak. Walaupun motivasi
yang diberikan kakak ipar masih harus diluruskan (sebaiknya mendorong juara
bukan karena uang, tapi mendorong mencintai ilmu untuk meraih cinta Allah Swt),
tapi besar pengaruhnya.
Apalagi kalau disampaikan dengan bahasa yang lembut dan
terus menerus. Seperti motivasi ibunya Thomas Alfa Edison yang menjadikan sang
anak sebagai ilmuwan bersejarah dan motivasi ibunya Imam Syafi’i yang menjadikan
anak tersebut sebagi ulama besar sepanjang masa.
Kedua, tidak ada anak yang
bodoh. Mereka hanya butuh dukungan dan motivasi, terutama dari orangtua. Kalau saja
tiap orangtua pandai bersikap pada anaknya, selalu peduli dengan kepedulian
yang sempurna, sabar mengajarkan anak mencintai Allah dan RasulNya, maka semua
anak bisa meraih kesuksesan dunia akhirat, insya allah.
artikel menarik mba eva ...
ReplyDeletesalam semangat terus berkarya