Terik
matahari siang begitu menyengat. Seakan menusuk-nusuk sekujur tubuh Andin. “Duh
kenapa tak ada sebatang pohon pun di sekitar sini.” Keluh Andin sambil menoleh
ke kanan dan ke kiri tepi jalan tempatnya berdiri. Hari ini Andin akan
mengikuti kajian Islam di rumah ustadzah Aisyah.
Perjalanan ke rumah ustadzah menempuh waktu sekitar tiga puluh menit. Beberapa menit kemudian dari kejauhan tampak sebuah angkot1 berjalan ke arah Andin. Andin segera menjulurkan tangan kanannya isyarat agar angkot berhenti. Setelah Andin naik, angkot berjalan kembali.
Perjalanan ke rumah ustadzah menempuh waktu sekitar tiga puluh menit. Beberapa menit kemudian dari kejauhan tampak sebuah angkot1 berjalan ke arah Andin. Andin segera menjulurkan tangan kanannya isyarat agar angkot berhenti. Setelah Andin naik, angkot berjalan kembali.
Ada
lima orang penumpang dalam angkot, termasuk Andin. Satu orang duduk
bersebelahan dengan Andin. Sedangkan tiga lainnya duduk di bangku menghadap
Andin. Belum lama Andin berada dalam angkot, mulai terasa perjalanan tidak
nyaman.
Pak supir membawa angkot dengan kecepatan tinggi. Setir dibanting kekanan dan kiri dengan kasar. Membuat tubuh penumpang bermain bersama gerakan angkot. Terhentak-hentak. Andin berusaha berpegangan ke dinding angkot agar mampu menahan goncangan angkot.
Pak supir membawa angkot dengan kecepatan tinggi. Setir dibanting kekanan dan kiri dengan kasar. Membuat tubuh penumpang bermain bersama gerakan angkot. Terhentak-hentak. Andin berusaha berpegangan ke dinding angkot agar mampu menahan goncangan angkot.
Angkot
terus berjalan dengan kecepatan tinggi, kurang lebih enam puluh kilometer per
jam. Dengan kepadatan jumlah kendaraan yang ada, kecepatan seperti itu sudah
cukup menciptakan suasana menyebalkan.
Oh tidak, pak supir baru saja melanggar rambu lalu lintas. Lampu merah tanda berhenti tak dihiraukannya. Namun begitulah memang kebiasaan angkutan umum di kota Medan. Seringnya membahayakan diri dan orang lain dengan melanggar aturan lalu lintas.
Oh tidak, pak supir baru saja melanggar rambu lalu lintas. Lampu merah tanda berhenti tak dihiraukannya. Namun begitulah memang kebiasaan angkutan umum di kota Medan. Seringnya membahayakan diri dan orang lain dengan melanggar aturan lalu lintas.
Kini
jantung Andin berdegup lumayan kencang. Perjalanan ini benar-benar membuatnya
tidak nyaman. Masih ada dua puluh menit lagi untuk sampai ke tujuan. Mata Andin
awas melihat sekitar.
Saat menoleh ke belakang ternyata ada angkot dengan jenis yang sama berada cukup dekat dengan angkot yang dinaikinya. Sewaktu angkot yang ditumpanginya berjalan kencang, angkot dibelakang itupun ikut melaju kencang. Sepertinya mereka sedang kejar kejaran. Untuk apa? Andin segera tanggap, ini demi penumpang.
Saat menoleh ke belakang ternyata ada angkot dengan jenis yang sama berada cukup dekat dengan angkot yang dinaikinya. Sewaktu angkot yang ditumpanginya berjalan kencang, angkot dibelakang itupun ikut melaju kencang. Sepertinya mereka sedang kejar kejaran. Untuk apa? Andin segera tanggap, ini demi penumpang.
Tak
salah lagi, mereka sedang bersaing mendapatkan penumpang. Andin memalingkan
wajahnya ke arah pak supir. Wajah pak supir tampak dingin, tak ada ekspresi
apapun. Matanya menyiratkan kekhawatiran akan haknya dirampas orang. Tiap
beberapa menit dia menoleh ke kaca spion sebelah kanan angkot, memastikan bahwa
ia tetap mendahului pesaingnya.
Secara
tiba-tiba pak supir menginjak rem. Spontan Andin dan penumpang lainnya
menggenggam dinding angkot. Bila saja tidak melakukan demikian, mungkin tubuh
mereka sudah tersungkur ke arah depan. Kapasitas angkot empat belas orang.
Dengan penumpang yang hanya lima orang memungkinkan mereka bergeser hingga terjatuh.
Lalu merasakan sakit. Oh, berat sekali perjalanan hari ini. Batin Andin berucap.
Penumpang
wanita berusia sebaya Andin segera naik. Belum sempat ia duduk angkot sudah
terlebih dahulu melaju. Gadis itu hampir saja jatuh. Untung dua orang penumpang
segera memegang lengannya. Menuntunnya sampai ia benar-benar telah meletakkan
bokongnya ke tempat duduk. “huuhhhh”. Dia mendengus. Sedikit marah dengan ulah
pak supir.
Tak
hanya Andin, penumpang lainpun menunjukkan wajah tidak suka dengan perjalanan
angkot yang ugal-ugalan ini. Tak sempat rasanya Andin menikmati keramaian jalan
dari balik jendela angkot. Semua terasa lumayan horor. “Pinggir baaaaang”. Gadis
yang tadi belum lama naik berteriak minta turun. Setelah kakinya menginjak
tanah, disodorkan uang dua ribu rupiah. “Kurang ini”.
Pak supir berucap dengan nada agak tinggi sambil memandangi selembar uang dua ribu rupiah di tangan kirinya. “Kan dekat”. Tanpa memperdulikan wajah masam pak supir si gadis penumpang segera pergi.
Pak supir berucap dengan nada agak tinggi sambil memandangi selembar uang dua ribu rupiah di tangan kirinya. “Kan dekat”. Tanpa memperdulikan wajah masam pak supir si gadis penumpang segera pergi.
Di
luar dugaan pak supir turun dari angkotnya, menyusul si gadis minta tambahan
ongkos. Dari kejauhan Andin perhatikan mereka adu mulut. Aksi ini memakan waktu
beberapa menit. Andin dan penumpang lainnya telah kehilangan kesempatan untuk
tiba di tempat tujuan lebih dini.
Cekcok berakhir, pak supir mengembalikan selembar uang dua ribu milik si gadis. Tak sudi ia rupanya dibayar sejumlah itu. Pak supir kembali naik ke angkot. Terdengar pintu angkot dibanting. Lagi-lagi membuat ketidaknyamanan di hati penumpang.
Cekcok berakhir, pak supir mengembalikan selembar uang dua ribu milik si gadis. Tak sudi ia rupanya dibayar sejumlah itu. Pak supir kembali naik ke angkot. Terdengar pintu angkot dibanting. Lagi-lagi membuat ketidaknyamanan di hati penumpang.
Aksi
kebut-kebutan kembali berlangsung. “woiiii”. Teriak pada sopir pada seorang
pengendara sepeda motor yang melintas di depan angkot miliknya. Sepeda motor
itu telah melanggar lampu merah. Itu yang menyebabkan sang supir merasa layak
marah.
Sambil
berharap segera sampai tujuan, Andin mencoba mengerti keadaan. Mungkin saja pak
supir sedang banyak masalah atau mungkin cemas dengan keluarganya. Bagaimana
makan anak istrinya hari ini.
Kehidupan ekonomi sulit, apa apa serba mahal. Terlebih setelah naik BBM, harga barang semakin mencekik. Dia harus kejar setoran. Tak dihiraukan lagi para penumpang. Yang dia tahu hanyalah menyambung nyawa.
Kehidupan ekonomi sulit, apa apa serba mahal. Terlebih setelah naik BBM, harga barang semakin mencekik. Dia harus kejar setoran. Tak dihiraukan lagi para penumpang. Yang dia tahu hanyalah menyambung nyawa.
Tetapi,
andai pak supir memahami hak penumpang. Kesulitan pak supir juga dirasakan
penumpang. Sama-sama susah kok. Buktinya mereka naik angkot. Oala paak...pak.
0 Comments
Post a Comment