Salah satu kegiatan libur lebaran saya
dan suami adalah nonton bareng. Nggak ke bioskop kok. Kami nonton di rumah
saja. Nonton gratisan film lama. Kali ini tertarik sama film Jepang berjudul
“Survival Family”, dirilis Februari 2017. Saya dan suami memang sepakat memilih
genre film family. Dan dari trailer film tersebut, sepertinya seru, kisah
sebuah keluarga yang bertahan hidup dalam keadaan sulit.
Ternyata dugaan saya benar, film ini
menarik. Melalui film tersebut saya bisa melihat wajah lain dari Jepang. Image
bersih dan tertibnya orang Jepang hilang disebabkan kesulitan yang mengancam
jiwa mereka.
Diceritakan pada suatu ketika, seluruh
dunia termasuk Jepang mengalami mati listrik. Bahkan baterai sekalipun tak lagi
berfungsi. Padamnya listrik bukan sehari dua hari, tapi sekitar dua tahun. Konflik
dimulai sejak hari pertama listrik padam. Beberapa catatan yang saya dapatkan
adalah sebagai berikut:
Pertama, orang Jepang cinta sekali dengan pekerjaan
dan sekolah.
Hari pertama listrik padam, kegiatan
masih diupayakan berjalan normal. Para pekerja dan pelajar pergi seperti biasa
ke tujuan masing-masing. Meski tempat tujuan mereka jauh tetap ditempuh dengan
jalan kaki ataupun dengan sepeda. Mereka tak bisa menggunakan mobil atau bus.
Sebab rata-rata kendaraan orang Jepang kecuali sepeda menggunakan tenaga
listrik. Maka transportasi umum maupun mobil pribadi lumpuh total saat itu.
Dalam keadaan panas tanpa pendingin
ruangan dan cahaya remang-remang yang berasal dari lilin, mereka tetap
bertahan. Tapi ternyata tak lama. Di hari kedua, satu persatu sekolah mulai
diliburkan. Sementara kantor, setelah beberapa hari juga terpaksa diliburkan,
menunggu hingga keadaan normal.
Kedua, masyarakat modern sangat
bergantung dengan listrik.
Jepang merupakan salah satu negara maju.
Ia terkategori maju disebabkan oleh kecanggihan teknologinya. Masyarakat
perkotaan seperti tokyo pun sehari-harinya menggunakan berbagai barang
elektronik bertenaga listrik untuk kehidupan mereka. Pada akhirnya mati listrik
menjadi masalah besar.
Kehidupan warga Tokyo benar-benar
terancam tanpa listrik. Terutama karena mereka tak bisa memasak makanan dan
mendapatkan air. Mengerikan melihat mereka kehabisan stok makanan baik di rumah
maupun di supermarket. Sampai-sampai mereka terpaksa makan makanan kucing
kalengan dan minum air aki.
Dalam kondisi tak ada makanan itu, uang
tak lagi laku sebagai alat tukar. Orang-orang hanya mau tukar menukar barang
yang bisa dimakan. Yang terpikir hanya bagaimana agar bisa bertahan hidup.
Ketiga, masyarakat perkotaan di Jepang
suka yang serba instan.
Senang yang serba praktis memang ciri
khasnya orang perkotaan, termasuk Tokyo. Makanan instan selalu jadi pilihan.
Sampai-sampai masak ikan saja tidak suka.
Dalam film itu diceritakan, si ibu dari
keluarga itu tak pandai membersihkan kotoran ikan. Keluarga mereka risih setiap
kali dikirimi ikan dari kampung. Anak gadis keluarga itu sampai memperlihatkan
wajah jijik ke ikan pemberian kakeknya. Ikan-ikan segar yang tak pernah
berhasil dimakan.
Berjuang mempertahankan hidup, mereka memutuskan
menyelamatkan diri ke kampung. Saat itulah dirasakan ruginya prilaku instan. Dalam
perjalanan ke kampung mereka melalui berbagai tantangan. Saat perut lapar,
kebetulan bertemu seekor babi. Mereka pun mengejar-ngejar binatang itu. Hingga
kemudian merasakan sulitnya memotong-motong babi tersebut.
Keempat, masyarakat perkotaan
individualis.
Bersikap individualis juga menjadi ciri
khas orang kota. Sesama keluarga saling cuek. Ayah sibuk nonton TV. Anak lelaki
main games. Anak perempuan bermedsos ria. Si ibu ngurus rumah. Begitulah
keluarga dalam film itu diperlihatkan. Sekalinya interaksi sebentar saja
berselisih. Lalu kembali ke dunia masing-masing. Ini yang sering dikatakan,
dekat tetapi jauh. Badannya saja yang dekat tetapi hati mereka tidak saling
terikat.
Masalah mati listrik menjadi pelajaran
tersendiri bagi mereka. Dalam menghadapi berbagai tantangan di perjalanan
menuju kampung, mereka terpaksa bekerja sama. Si ayah memperlihatkan kasih
sayang pada anak-anak, ketika mengusahakan makanan untuk anak-anaknya.
Anak-anak terharu saat ayah mereka
mendahulukan keselamatan mereka saat menyebrangi sungai. Di akhir cerita mereka
menjadi kompak, kembali jadi keluarga harmonis.
Kelima, masalah perut bisa membuat orang
Jepang melanggar aturan dan berantakan.
Bagian yang ini juga lucu. Saat warga
tokyo merasa hidup mereka terancam dengan matinya listrik, kepanikan menyebar.
Warga Tokyo berbondong-bondong ke bank untuk menarik uang mereka. Dan terjadilah
keributan di berbagai pintu bank karena antrian ya kacau. Di jalanan sampah pun
berserakan karena tak ada mobil pengangkut sampah yang beroperasi. Masalah
perut ternyata bisa menjadikan manusia lupa pada kebiasaan baik yang sejak lama
dipupuk.
Satu lagi poinnya. Ternyata warga Jepang
bisa terkenal disiplin, bersih, rapi dan tertib karena bantuan teknologi
mereka.
*****
Mereka menghabiskan waktu di kampung
sekitar setahun lebih. Mereka pun sudah mulai terbiasa dengan kehidupan kampung
yang serba manual. Menangkap ikan, memasak, mencuci dan beberes dilakukan tanpa
bantuan listrik. Sampai akhirnya disuatu siang lampu jalanan menyala pertanda
keadaan sudah normal.
Kabar dari media segera tersiar bahwa
padamnya listrik disebabkan bumi kejatuhan benda langit sejenis komet. Saya
bertanya tanya, kenapa peristiwa tersebut bisa menyebabkan kerusakan listrik
sampai tahunan. Apa nggak bisa diperbaiki secepat mungkin? Yaah mudah mudahan
nggak kejadian beneran ya, amin.
Wah jadi pengen nonton. Soalnya saya penggemar film jepang. Cuma sejak musim drakor saya jadi lebih sering nonton drakot juga
ReplyDeletelagi demam drakor ya mbak hehe
DeleteBoleh juga sepertinya film Survival Family ini, buat nonton di akhir pekan :)
ReplyDeleteiya mbak, seru filmnya baut ditonton sekeluarga.. no adegan dewasa. kiss sekalipun nggak ada
Deletewah sepertinya menarik filmnya. ada donlotannya nggak ya?
ReplyDeletebisa dicari mbak downloadannya.. barangkali di aplikasi seperti iflix ada
Delete