Setelah gagal mewacanakan lokalisasi
prostitusi pada 2013 lalu, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau
Ahok kembali mengungkapkan keinginan membangun lokalisasi prostitusi di
Jakarta. Kali ini untuk memuluskan langkahnya, Ahok memperalat kasus pembunuhan Deudeuh
Alfi Sahrin disebuah tempat kos daerah Jakarta Selatan yang dijadikan area
pelacuran, http://news.okezone.com/read/2015/04/18/338/1136207/ahok-ingin-bangun-lokalisasi-di-jakarta-ini-kata-psikolog. Ahok
menyebut kamar kos – kosan yang beralih fungsi menjadi tempat pelacuran
sebagai prostitusi liar. Hal ini terjadi disebabkan karena tidak adanya
lokalisasi. Pengamat Psikologi, Intan Erlita menyebut bahwa secara sosial,
lokalisasi punya dua sisi mata uang. Ditentang, namun di sisi yang lain bisa
mengatasi berbagai masalah maraknya prostitusi liar di tengah masyarakat, http://news.okezone.com/read/2015/04/18/337/1136214/ingin-bangun-lokalisasi-ahok-harus-berkaca-dari-kasus-dolly. Bila
lokalisasi dijadikan solusi, artinya yang dianggap sebagai masalah selama ini
adalah pelacuran liar, bukan pelacuran itu sendiri. Padahal yang rusak justru
praktek pelacurannya.
Kalau yang dipakai adalah sudut pandang
sekuler liberal, wajar lokalisasi dianggap sebagai solusi. Sebab dalam
pandangan sekuler liberal, kebebasan berprilaku diakui. Perzinahan dianggap
sesuatu yang wajar. Ia bagian dari kebutuhan pria nakal, profesi bagi pemberi
jasa seksual dan keuntungan bagi pengusaha bisnis pelacuran. Ini didukung pula
oleh terori ekonomi kapitalis yang menyatakan bahwa setiap barang dan jasa yang
diinginkan manusia adalah barang ekonomi dan boleh diperjualbelikan. Alhasil,
orang-orang berpemikiran liberal tidak ada niat untuk menghilangkan praktek
pelacuran. Satu-satunya solusi yang mereka tawarkan bagi efek buruk pelacuran
ialah lokalisasi.
Untuk meyakinkan masyarakat, orang –
orang liberal pakai dalil “daripada, lebih baik”. Daripada penjaja seks
berkeliaran, lebih baik dilokalisasi, kan lumayan nambah pendapatan
negara kalau pajaknya dipungut. Daripada lelaki penikmat seks menyasar para
wanita baik-baik, lebih baik mereka ”jajan” di lokalisasi. Daripada penyebaran
HIV/ AIDS akibat pelacuran tidak terpantau, lebih baik di lokalisasi agar keberadaan
para pelacur dapat diawasi dan terdata, kan bisa dikasih penyuluhan.
Daripada tidak punya pekerjaan, lebih baik perempuan bekerja sebagai penyedia
jasa seks komersil, kan bukan meminta – minta melainkan bekerja,
lumayan mengurangi pengangguran. Kalau dalil “daripada, lebih baik” mereka
dituruti, pasti akan semakin merajalela. Bahkan bisa jadi maksiat lainnya
seperti nikah sesama jenis diminta untuk dilegalkan, edan.
Umat muslim tidak boleh terkecoh dengan
segala alasan berbagai pihak yang menginginkan kemaksiatan dihalalkan. Sebagai
muslim, kita selayaknya menjadikan Islam sebagai standar berpikir dan berbuat.
Perzinahan jelas diharamkan dalam Islam (lihat Q.S al Isra’:32). Menyuburkan
praktek perzinahan sama dengan mengundang azab Allah Swt, meningkatkan angka
penderita HIV/ AIDS dan merusak moral masyarakat.
Solusi terbaik untuk mengatasi pelacuran
bukan lokalisasi, melainkan jadikan Syariat Islam sebagai aturan pemerintahan.
Khilafah sebagai institusi Islam akan menerapkan sistem pendidikan Islam yang
membentuk pribadi sholeh/ sholeha pada diri masyarakat. Sistem ekonomi Islam
akan menyejahterakan rakyat sehingga tidak ada dalih untuk menjadikan
kemaksiatan sebagai bisnis. Penerapan sistem pergaulan akan mengontrol nafsu
para lelaki dan perempuan sehingga tidak mudah jatuh pada praktek perzinahan.
Sistem sanksi Islam melengkapi kesempurnaan pelaksaan Islam, sehingga umat
selalu terjaga dari perbuatan maksiat. Wallahu a’lam bishawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar